Sekarang, kepalaku membayangkan kuburan, tempat manusia yang terakhir. Tapi kadang-kadang manusia tak mendapat tempat dalam kandungan bumi. Ya, kadang-kadang. Pelaut, prajurit di zaman perang, sering mereka tak mendapat tempat tinggal terakhir. Dalam kepalaku membayangkan, kalau ayah yang tak mendapatkan tempat itu.
Akhirnya manusia ini mati juga. Mati. Sakit.
Kadang-kadang manusia ini tak kuasa melawan kenang-kenangannya sendiri. Dan tersenyum aku oleh keinsyafan itu. Ya, kadang-kadang tak sadar manusia terlampau kuat dan menenggelamkan kesadarannya. Aku tersenyum lagi.
Kala itu kemiskinan selalu melayang-layang di angkasa dan menyambari kepalaku.
Seorang pelayan wanita menghidangkan susu coklat dan kue. Dan pelayan itu tidak datang merangkak-rangkak seperti pada majikan Pribumi. Malah dia melihat padaku seperti menyatakan keheranan. Tak mungkin yang demikian terjadi pada majikan Pribumi: dia harus menunduk, menunduk terus. Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain.
Ya, alangkah indah masa kecil yang lalu. Dan kini aku menembangkan keindahan dalam kenang-kenangan.
Harus adil sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya.
Lagi pula tak ada cinta muncul mendadak, karena dia adalah anak kebudayaan, bukan batu dari langit.
The basic fact is that for the person without civil rights, death is always present in the background, forever dancing, each second of the day, before his eyes.
Mengobrol adalah suatu pekerjaan yang tak membosankan, menyenangkan, dan biasanya panjang-panjang.
Tugas dokter Pribumi bukan saja menyembuhkan tubuh terluka dan menanggung sakit, juga jiwanya, juga hari depannya. Siapa akan melakukannya kalau bukan para terpelajar? Dan bukankah satu ciri manusia modern adalah juga kemenangan individu atas lingkungannya dengan prestasi individual? Individu-individu kuat sepatutnya bergabung, mengangkat sebangsanya yang lemah, memberinya lampu pada kegelapan dan memberi mata yang buta.
Yang berani mengalah terinjak-injak, Bunda.
Ya, anakku, selama hidupku yang limapuluh enam tahun ini tahulah aku, bahwa usaha dan iktiar manusia itu sangat terbatas. Aku sendiri tak membiarkan adikmu sakit bila saja aku berkuasa atas nasib manusia.
A good author, Mr. Minke, should be able to provide his readers with some joy, not a false joy, but some faith that life is beautiful. While suffering is man-made, and not some natural disaster, then it can surely be resisted by men. Give hope to your readers, to your fellow countrymen.
Kemudian malam melanjutkan tugasnya: kosong dari segala perasaan.
Di sini tak ada rumah yang terkunci pintunya, siang ataupun malam. Di sini pintu bukanlah dibuat untuk menolak manusia, tapi menahan angin. Di sini semua orang tidur di ambin pada malam atau siang hari, termasuk para tamu yang tak pernah dipedulikan dari mana datangnya. Ia mendengar sekali lagi. Di kota setiap orang baru selalu ditetak dengan tanya: Siapa nama? Dari mana? Di sini orang tak peduli Mak Pin datang dari mana. Tak peduli Mak Pin gagu. Tak peduli sekalipun dia kelahiran neraka.
Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam.
Banyak Pribumi yang mengimpi jadi Belanda, dan gadis yang lebih banyak bertampang Eropa ini lebih suka mengaku Pribumi.
Mengapa yang tidak setuju tak dapat mengekang nafsu menghina? Antara kita sendiri, kalau hanya hendak menghina pun tidak semua bisa berdiri sama tinggi. Penghinaan yang bodoh hanya akan memukul diri sendiri.
Di dunia ini tak ada sesuatu kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali.