Ternyata saya tak pernah benar-benar kalah, meski mungkin belum sampai pada menang.
Kan sudah pernah kubilang padamu: aku tidak bisa mencintaimu dengan sederhana. Aku mencintaimu dengan semua kerumitan itu, pelik yang berkelip pelangi dari tiap rongga...
Kadang berbagai peristiwa, juga kenangan terasa kejam, tapi tugas pengarang adalah mengemas kisah-kisah itu dalam keterharuan, kebenaran dan keindahan yang padu...
Pembaca adalah jantung buku saya.
Kamilah ibu para yatim. Kamilah ibu para piatu. Kamilah ibu mereka yang menderita. Kami ibu dari semua jejak yang membekas di tanah ini!
Bagi saya membaca dan menulis itu bukan hobi, tapi kebutuhan.
Kapan kita tahu bahwa kita pribadi yg tulus? Setiap kali kita bahagia melihat, mendengar kebahagiaan dan keberhasilan orang lain.
Indahnya menjadi orang baik dan benar, karena ia hanya takut pada Allah, dan hanya bisa dibeli olehNya.
Setelah menjadi seorang penulis, saya lebih giat lagi belajar menulis.
Ketika menulis saya harus yakin bahwa apa yang akan saya tulis baik, menarik dan bermanfaat.
Mengapa sombong? Kita dari tanah. Kita akan selalu bisa menumbuhkan kebaikan dan keindahan bagi diri dan sekitar, hingga menjalar dan berkembang sampai pada pucuk-pucuk harapan, disebabkan ikhtiar serta keikhlasan, bukan arogansi.
Puisi itu pada dasarnya akrobatik kata-kata, tapi harus disiasati agar punya lapis makna.
Aku di sini kamu di sana, tapi kita tetap bisa berpelukan dalam doa dan puisi.
Sudahkah kau minum puisimu hari ini?
Cinta adalah rasa yang kuucap dalam setiap desah dan cuaca, tak sampai-sampai getarnya padamu.
Menjadi penulis itu tak cukup sekadar menjelma kutubuku, tetapi jadilah predator buku!
Menjadi penulis itu harus serakah; serakah dalam membaca!
Dan aku tiba di sini; jalan raya yang terbuat dari parasmu. Katakatacanggung, waktu gugu. Bagaimanakah kau menerjemahkan kekosongan?
Berjuang untuk diri sendiri itu biasa, tetapi keindahan seseorang tampak justru saat ia berjuang untuk selain dirinya.
Sebab tak ada pelukan yang lebih erat dari puisi.